Kisah Tommy 03

Bookmark and Share



Setelah tak ada lagi yang menetes keluar. Mella mengambil tissue yang ada di atas meja, perlahan-lahan ia membersihkan cairan yang membasahi pangkal pahaku itu, tanpa membuat ujung kepala penisku terlepas dari bibir liang syahwatnya. Sesaat kemudian ia membuang tissue itu dan menggerakkan tubuhnya turun, membenamkan kembali penisku untuk masuk ke dalam kehangatan rongga yang licin itu, ia menggigit bibir bawahnya. Dan bagiku itu adalah suatu tanda untuk memulai lagi perjalanan bahtera birahi kami. Kurengkuh tubuhnya dan tanpa memisahkan tubuh kami yang sudah menyatu perlahan kubaringkan ia di tempat tidurku. Tubuhku bertumpu pada siku menindih tubuhnya. Kami saling berpandangan, kubelai rambutnya, ia mengusap dadaku.
"Kamu luar biasa", bisikku dengan nada kagum kepadanya.

Aku mulai menarik mundur senjataku, perlahan-lahan. Mella melumat bibirku, kudorong maju lagi, mundur, maju, semuanya dengan perlahan-lahan, kedua tangan Mella pun tak tinggal diam, berkeliaran di belakang tubuhku, ia melepaskan lumatannya pada bibirku dengan napas terengah-engah, dan sesaat kemudian telah berubah menjadi desah dan rintihan, tubuhnya mulai menggelinjang, sesaat kemudian ia menumpangkan salah satu kakinya ke atas sandaran kursi, mengangkang lebih lebar, kedua tangannya kemudian merayap ke pantatku, meremas dan menekannya, setiap kali bergerak naik ke atas ia selalu menekannya kembali, kucoba agak mempercepat gerak naik turunku, ia kini melepaskan tekanan tangannya, kusadari keinginannya, kuturunkan salah satu kakiku memijak lantai, perpaduan posisi tubuh kami kini membuatku lebih leluasa untuk bergerak makin cepat, pinggul Mella mulai bergerak mengimbangi, kupercepat gerakanku, kupercepat lagi hingga batas yang memungkinkan, kupertahankan kecepatan itu tanpa mengurangi atau melebihinya, kurasakan rongga kenikmatan Mella semakin membasah dan licin, mulutnya tak henti-hentinya mendesah, merintih, mengerang, kukerahkan seluruh tenagaku untuk memompakan terus kenikmatan demi kenikmatan kepadanya.

Tommy kecilku, ia begitu perkasa, meregangkan seluruh otot-otot di tubuhnya untuk bertempur dengan gegap gempita, mendesak, menerjang kesana kemari, tak memberi kesempatan sedikitpun kepada musuh untuk menguasai jalannya pertempuran, memporak-porandakan seluruh pertahanan musuh.

Mella semakin larut dalam kenikmatan, bagian belakang tubuhku mulai dari punggung hingga pantat habis diremas-remasnnya, ia kemudian menaikkan kedua kakinya melingkari pinggangku, kedua tumitnya saling mengait, mengunci tubuhku, kedua tangannya menarik dan menekan pantatku, pinggulnya naik bergerak ke atas menyambut setiap gerak turun tubuhku, seolah ingin membantu menghunjamkan penisku lebih dalam lagi ke dasar liang kenikmatannya. Keringat mulai mengucur di seluruh tubuhku jatuh dan bercampur dengan keringat tubuhnya, kedua tubuh kami bagaikan di hempas gelombang badai, terbanting-banting di tempat tidur, tulang pubic kami secara ritmis saling bertabrakan, menerbitkan pekikan-pekikan lirih dari mulutnya, wajahnya kian memerah, kedua alisnya semakin mengernyit, kurasakan dinding-dinding rongga kenikmatannya semakin lama semakin menghimpit, otot-otot di dalamnya semakin terasa meremas-remas, kulihat kedua matanya sudah setengah terpejam, mulutnya setengah terbuka dengan lidah mengambang di tengah-tengahnya, ia rupanya sudah berada di ambang puncak kepuasannya. Tak lama kemudian ia memeluk diriku sejadi-jadinya, kubalas dengan memeluk erat tubuhnya, kubenamkan penisku sedalam-dalamnya, hingga menyentuh dasar, dan kubiarkan terdiam menekannya, kunanti saat-saat yang paling mengesankan itu, dan tak lama kemudian, dinding-dinding rongga kenikmatannya mulai berkontraksi, semakin lama semakin keras, dan semakin keras, berkontraksi dengan hebat.

Mella memekik lirih, kugerakkan pinggulku maju mundur perlahan-lahan, sambil menekan tulang pubicnya dengan bertenaga, kudekap dengan erat bongkahan pantatnya, kontraksi itu semakin berkelanjutan, seiring dengan gerakan pinggulku, dibarengi oleh pekikan-pekikan lirih Mella, seluruh tubuhnya bergetar hebat, entah sudah berapa kali ia meneriakkan namaku di sela-sela pekikannya, sehingga ia tak sanggup lagi meneriakkan pekik nikmatnya itu, agaknya kenikmatan itu terlalu memuncak baginya. Mella menggigit bahuku, beberapa detik lamanya, hingga akhirnya pelukannya mulai mengendur, tangannya menahan pinggulku untuk menghentikan gerakannya, tubuhnya terkulai, kusandarkan kembali kepalanya, ia terpejam dengan napas terengah-engah.

Mungkin hampir dua menit lamanya ia dalam keadaan seperti itu, kubiarkan ia menikmati sisa-sisa kenikmatan yang barusan dirasakannya. Napasnya semakin teratur dan tak lama kemudian ia membuka kedua matanya.
"Wow", bisiknya lirih.
Aku hanya tersenyum, kuusap keningnya yang basah oleh keringat, kemudian kukecup dengan lembut. Kedua tangannya kemudian mengusap punggungku, menyapu keringat yang membasahi di sana, kemudian wajahku, dadaku. Jari tangannya bagaikan otomatis memilin puting dadaku, membuatku meggelinjang, penisku yang masih berdiri tegar dan kokoh menggeliat di dalam benaman rongga kenimatannya.
"Aku mau lagi", bisiknya dengan suara mendesah.
"Silakan, sayang", sahutku dan kemudian mulai mengecup dan melumat bibirnya. Sesaat kemudian aku mulai bergerak lagi, memompakan kenikmatan bagi kami berdua, yang semakin lama semakin memuncak, desah dan rintihannya kembali menggema memenuhi ruangan kamarku, seiring dengan gelinjang dan geliatan tubuhnya, pinggulnya menari-nari mengimbangi setiap ayunan tubuhku, kurasakan dinding-dinding rongga kenikmatannya semakin sensitif, hampir dalam setiap gerakan tubuhku disambutnya dengan remasan-remasan, otot-ototnya mencengkeram dan melepas bergantian, seiring dengan keluar masuknya penisku, mencengkeram di saat ia hendak keluar, dan melepaskannya ketika masuk, begitu nikmat, dan kenikmatan itu begitu terasa menguasai seluruh urat syarafku, nyaris kembali membobolkan pertahananku. Namun Mella tak membiarkannya, ia menekan pinggulku untuk berhenti bergerak, dan terdiam beberapa saat untuk mengendorkan serbuan rasa nikmat yang menguasai diriku, hingga aku mampu mengontrol kembali diriku, dan bergerak lagi, menabuh irama birahi bersamanya, dan menarikan tarian nafsu birahi, menggelinjang, menggeliat, merintih, mendesah, mengerang, silih berganti, dan menghentikannya disaat aku mulai kehilangan kendali, demikian seterusnya.

Entah sudah berapa kali aku terhenti untuk mengendalikan diriku, terkadang aku sendiri mampu mengontrolnya namun tak jarang pula Mella dengan piawainya mengetahui dan menghentikan irama percintaan kami, namun dengan cara bercinta seperti itu yang jelas sudah beberapa kali kurasakan serangkaian kontraksi pada dinding liang kenikmatannya yang diiringi pekik-pekik lirihnya. Mella benar-benar mengendalikan diriku, yang ditunggangi untuk mengantarnya berkali-kali ke puncak kenikmatannya. Namun aku tak peduli, karena kenikmatan yang kurasakan juga benar-benar membuai diriku, begitu lama, begitu panjang, membuatku lupa akan dunia nyata, lupa waktu, lupa berada di mana, yang ada hanya diriku dan dirinya di suatu tempat yang kutak tahu dimana dan apa namanya, semuanya begitu maya. Tubuhku dan tubuhnya sudah bersimbah peluh hasil olah asmara kami, namun semua itu tidak kami pedulikan, kami terus bergerak dan bergerak.

Mella kemudian berbisik di telingaku meminta untuk berada di atas ketika dilihatnya kedua tanganku yang menopang tubuhku tak kusadari sudah gemetaran. Dengan serta merta kuangkat tubuhnya untuk duduk di pangkuanku. Mella membalas dengan memeluk erat tubuhku, kemudian dengan berhati-hati kuputar posisi tubuhku dan perlahan-lahan rebah bersandar menggantikan tempat Mella, tanpa melepaskan sedikitpun pertautan tubuh kami. Mella kemudian mulai menggerakkan pinggulnya, kedua tangannya bertumpu pada dadaku, sesekali tubuhnya membungkuk mendekat dan kemudian bibirnya melumat bibirku, lidahnya terkadang menyelinap masuk dan memilin lidahku, dan jika tubuhnya menjauh dengan serta merta kuciumi buah dadanya, kuhisap puting susunya, membuatnya semakin mengerang-erang nikmat, kedua tanganku tak henti-henti menjalari seluruh tubuhnya, punggungnya, pinggulnya, kedua bukit pantatnya, dan meremas-remas di sana, menyentuh dan meraba rectumnya, tubuhnya semakin hebat menggelinjang dan menggeliat, dan serta merta pula kurasakan remasan-remasan pada sekujur batanganku semakin menjadi-jadi.

Kami bagaikan sepasang pendaki yang sedang menjelajahi rimba asmara, bergegas, berpacu, mengerahkan seluruh tenaga, untuk bersama-sama menuju ke puncak kenikmatan, terkadang salah satu di antara kami tertinggal, maka yang lain menunggu dan menggapai untuk kembali berpacu bersama, saling memacu, saling menunggu, seolah ada kata sepakat yang tak diucapkan, hasrat yang tak tersirat, yaitu ingin meraih puncak itu secara bersama-sama. Upaya itu akhirnya tak sia-sia ketika Mella melihatku meregang menahan nikmat dan kurasakan pula kontraksi liang kenikmatannya mulai terasa, dengan satu jeritan lirih ia menghunjamkan pantatnya ke bawah sejauh-jauhnya, penisku melesak masuk hingga ke akar-akarnya. Mella kemudian merebahkan tubuhnya menindih tubuhku, ia memeluk dan membenamkan wajahnya di samping wajahku, kupeluk dengan erat punggungnya, kedua kakinya tak lama kemudian merapat, dinding rongga kenikmatannya semakin hebat menghimpit seluruh kemaluanku, kemudian ia menggerakkan pinggulnya naik turun dengan hanya mengkontraksikan otot yang ada di pantat dan pinggulnya, mengocok dan meremas batang penisku, perlahan-lahan, denyut-denyut di sekujur tubuh kemaluanku bagaikan saling sahut menyahut dengan kontraksi liang kenikmatannya, semakin lama semakin intens.

Mella mengerahkan segala kemampuannya untuk menggiring gelora kenikmatan kami selama mungkin, tak sekalipun ia mempercepat gerakan pinggulnya, tetap perlahan-lahan, meremas, mengocok, rintihan dari mulutnya semakin menjadi-jadi, silih berganti dengan namaku yang disebut-sebutnya, tubuhku dan tubuhnya semakin meregang, otot-otot di seluruh tubuhku seakan dibetot keluar secara perlahan-lahan, semakin lama pelukan kami semakin menggila, kami berdua terengah-engah berusaha menarik napas yang semakin lama semakin sulit, seiring dengan kenikmatan yang sudah di ambang batas puncaknya, sejengkal demi sejengkal, langkah demi langkah, berusaha meraih puncak kenikmatan, kutahan napasku, dan mungkin juga sudah tak mampu bernapas lagi, dan...
Uaahhgh!!!
Tergapailah puncak kenikmatan itu, gelombang demi gelombang kenikmatan menerpa tubuh kami berdua. Mella menjerit-jerit histeris, saling memeluk dan merengkuh dengan diriku, seakan hendak meluluh lantakkan masing-masing tubuh kami, gelombang itu tak surut-surutnya melempar-lemparkan kedua tubuh kami ke dalam samudera kenikmatan, bagaikan pusaran air, menghisap dan menelan tubuh kami ke dalamnya, hingga akhirnya kurasakan mataku berkunang-kunang, pikiranku melayang-layang, sekelilingku serasa buram, samar-samar, yang ada hanya nikmat yang kurasakan menggedor-gedor seluruh jiwaku, tak kusadari lagi semua yang ada di luar diriku, bahkan tubuhku sendiri sudah tak terasa lagi, entah ada entah tiada. Entah berapa lama aku dalam keadaan tak sadar seperti itu, hingga akhirnya perlahan-lahan kurasakan sakit pada bahuku seiring dengan kesadaranku yang kembali pulih, saat itulah kusadari ternyata aku masih menahan nafasku dan serta merta dengan tersengal-sengal kutarik nafas sebanyak-banyaknya. Kulihat bahuku yang berdarah dan bertanda bekas gigitan.
"Hebat kamu, Mel."
"Kamu juga."
"Eh, apa yang terjadi sebenarnya?" Tanyaku.
"Seorang cewek tergoda penismu yang besar itu, Tom." Dia tersenyum.
"Bagaimana dengan Romy?" Aku bertanya soal pacarnya.
"Biar dia tetap jadi pacarku. Kamu, kamu jadi kuda pacuku. Punyanya kalah besar dibanding kamu. Aku sulit untuk mencapai kepuasanku." Dia mengecup pipiku, "Terima kasih, Tom."
"Sama-sama." Sambil kulumat bibirnya.
"Sudah ah. Tugasku belum selesai. Tadi aku pura-pura saja, kok. Gila, aku tak bisa konsentrasi melihat kejantananmu yang gede itu", Dia mengambil kalkulator lagi, "Kupinjam lagi ya. Siapkan penismu saat ini kukembalikan. Dan yakinlah, aku akan lebih sering meminjam kalkulatormu."
Lho!


TAMAT

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar