Di Balik Tirai

Bookmark and Share

Hari ketiga di kost baru ini terasa sangatlah menjemukan. Dari lima kamar yang tersedia di lantai atas hanya terhuni dua kamar, maklum dalam kondisi baru. Payahnya Roy yang berada di kamar sebelah lebih banyak di luaran mengurusi skripsinya yang belum kelar-kelar, sementara aku mesti menunggu saat ajaran semester akhir dimulai. Acara TV dan bukupun sudah enggan kusentuh. Sama menjemukan. Rasanya pemandangan di luar sana lebih menarik bagiku. Dalam jendela kamarku yang strategis ini aku bisa leluasa mengamati rumah-rumah lain yang cenderung membuka usaha yang sama, kost-kostan. Dari sekian tempat yang sempat aku tatap tampak menarik sebuah kamar, tepat seberang kamarku, jarak satu rumah sejajar. Jendela besar dengan kacanya yang full window hingga sebatas lantai sering kali terdengar alunan musik etnik bahkan tak jarang sinar dari dalam membiaskan samar perabot yang cukup tertata dan warna teduh interiornya walau tertutup tirai putih trasparan yang tak pernah dibuka.

Keingintahuanku semakin memuncak karena hingga hari ini aku tidak pernah melihat sosok penghuninya. Penasaran akan keingintahuanku makin besar. Tak jarang pikiranku terselubung angan liar tak terkendali dan tiada satu dalam diriku untuk mengekang. Hingga..., "Akh", keterkejutanku tak kalah hebat. Tampak di sana seseorang berjalan bersamaan dengan terpendarnya cahaya yang ternyalakan. Kegugupanku membawa reflek tangan untuk segera mematikan lampu kamarku hingga bisa kucegah pandangan balik.

Pukul 11.05 PM, siluet bayangan itu menghadirkan bentuk nyata cowok muda berperawakan sedang dengan tampilan pakaian terjaga. Sejenak berdiri dia di depan jendela memandang sekeliling dengan sorot tajam penuh ekspresi kejantanan. Berdesir dada ini memperhatikan sapuan pandangannya yang menembus pekatnya malam. Perlahan tangan kanannya menyalakan instrumen latin sementara kesigapan tangan kirinya menelusuri kancing-kancing baju, membukanya.

Nafasku begitu tak teratur dan harapanku aku bisa terus memandangnya dibalik tirai jendelaku tanpa dia ketahui. Kurasakan hangat dan detakan gairah membakar hasratku yang terbelenggu. Kuperhatikan dadanya yang bidang penuh bulu mempermainkan irama nafasnya. Dan..., sekali sentak pantalonnya terbuang di ranjang. Samar di balik tirai itu terpampang tubuhnya yang terbungkus cawat string meliuk mempermainkan gairah. begitu seksi. Sepertinya tanpa sadar diperhatikannya tubuhnya sendiri pada cermin besar di sampingnya. Sampai-sampai ditelusurinya setiap jengkal tubuh untuk memastikan kesempurnaan yang ingin dia dapatkan. Tak kecuali zakarnya yang kini tak terlindung sesekali dipermainkannya. Namun harapanku untuk mendapatkan hal lebih terpenggal karena secara tiba-tiba dimatikannya lampu kamar dan membiarkanku berangan kosong dan menunggu ada satu keajaiban. Kekecewaanku tak terselesaikan. Kukerjai diriku malam ini.

Kejadian seperti malam itu kembali terulang hingga beberapa kali dan aku begitu tersentak begitu siang ini kami berpapasan di gerbang perumahan. Aku hanya bisa tergagap tanpa ekspresi menatap senyumnya yang lebih dahulu terkembang sembari melindungi wajah dan kepalanya dari guyurnya air hujan yang mulai deras menetes. Mau tak mau kami berlindung dulu di pos penjagaan.
"Mana motornya?", tanyanya pasti.
Keherananku menyeruak dari mana dia tahu kalau aku selalu bawa motor.
"Masuk bengkel", jawabku singkat. Kucoba bersikap wajar sembari mengalihkan perhatian pada derasnya hujan walau sesekali kuberanikan menelusuri tubuhnya dalam keremangan hasrat terpendamku.
"Saya, Noah", diulurkannya tangan berbulunya yang basah memantulkan air hujan yang belum terseka. Kusebut namaku dengan ragu takut apa yang selama ini aku perbuat di ketahuinya. Kucoba untuk membuka pertanyaan tapi selalu gagal. Akhirnya aku putuskan untuk membiarkan ini semua mengalir dengan sendirinya.

"Ngapain diem, Ga. Kayak orang baru tahu aja. bukannya kamu sering perhatiin saya kalau malem". Wajahnya yang bersih bergantung bulu harus meyiratkan kesan menggoda dan konyol.
"A..., a..", Seperti pencuri tertangkap basah aku benar-benar malu dan salah tingkah.
"Saya cuma ingin punya teman", jawabku yang asal keluar untuk membela diri.
"Oke..., aku temen kamu. kebetulan hujan udah agak redaan. Mau mampir ke tempat saya", tanpa menunggu jawabanku Noah telah menarik tanganku memasuki rintiknya hujan. Mengikuti iramanya aku berlari mempertahankan keseimbangan agar tak terpeleset.
Kaki-kaki kami yang basah meninggalkan jejak di tangga kayu dan suara jejak yang bersahutan.
"Nah ini kamarku, aku tinggal sendiri di sini. Kira-kira setahun lalu setelah aku lulus dan diterima kerja di kota ini. Kalau kamu suka main-main aja kemari. Aku juga nggak begitu banyak teman. Syukur-syukur kamu mau aku jadikan teman. Aku mandi dulu ya, tunggu aja sebentar".

Aku seperti tidak mendengarkan kata-katanya. Pandanganku lebih banyak menyisir dalam kamar ini. Kuperhatikan setiap detailnya yang kurasa sama jelasnya walau tirai putih transparan itu menutupinya. Kubiarkan suara air tersibak dan terbuang di kamar mandi sana. Pandanganku masih asyik mengamati kamarku sendiri dari kamar yang justru sering aku amati. Tanpa sengaja aku temukan teleskop di atas meja kecil, aku jadi tersenyum. Kucoba sapukan pandangan ke balik jendela kamarku dan, akh pantas batinku. Pemandangan disana sama jelasnya bila dilihat dari benda ini. Tak heran Noah tahu banyak. Jadi selama ini....

Kurasakan ada dekapan hangat dari belakang bersamaan dengan menyebarnya aftersave beraroma maskulin dan hembusan nafas hangat di telingaku.
"Kamu pasti menginginkan ini, Ga. Inilah hidupku. Kau bisa menolaknya jika tak suka", Terperanjat aku melihat reaksi Noah yang menggebu, terpantul badannya yang berkontur otot terbelit handuk mini. Aku hanya bisa mengikuti hempasan bait-baitnya. Rabaannya menyusup menggapai daerah tersembunyi dan menekannya penuh hasrat. Nafas dan detak jantung mengalir cepat merasakan desiran merambat. Aku telah membuka peluang. Tak tercegah. Noah melucutiku dalam panas hasratnya. Akupun bereaksi sebaliknya.

Terasa ludahnya yang hangat membasahi zakarku, buahku. Kucapai juga miliknya yang besar namun justru tak berbulu. Hangat dan mengisi mulutku. Tangan Noah begitu peka menelusuri bagian yang menggelinjangkanku, kokoh dan hisapannya meremangkan. Kata Noah bulu pusatku luar biasa hingga ke zakar ditumbuhinya.

Kasrat kami terkontrol naik, kuinginkan dia memasukiku hanya dalam oral, seakan kuserap seluruh hangatnya badan Noah yang terus terpacu naik. Keteraturan detak nadi kami semakin kacau dan kami sama-sama melepas peju hasrat penuh nafsu dan kepuasan melambungkan beban dalam pikiran. Begitu terpuaskan dan keremangan menyusup tak terkira. Helaan nafaspun tersendat bersamaan dengan kontraksi perut kami. Aku mengerang terpuaskan. Noah masih tak henti menghisap dan menghisap diriku. Terbersit di sudut mataku gerak tirai bergoyang perlahan, aku sudah tidak di luar sana tapi telah masuk, masuk dan merasakan kenyataan. Haruskah kuhenti. Aku termangu mempertanyakan duniaku.


TAMAT

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar