Hari Penghakiman 02

Bookmark and Share



Selanjutnya aku seperti setengah sadar bergerak kalap megayunkan parang ke arah para penjarah itu. Si brewok adalah yang pertama roboh. Lehernya kurobek sebelum dia sempat mencabut cluritnya. Kemudian kulihat si cepak menyerangku dengan parangnya tapi bagiku segalanya terlihat bagai dalam film gerak lambat. Dengan mudah kuhindari sabetan parangnya, lalu dengan penuh amarah aku mambacok kepalanya. Darah bercampur cairan putih muncrat dari ubun-ubunnya saat aku belah dengan parang! Aku agak tersadar ketika melihat si gondrong dengan belatinya mengiris leher Mirna adiku. Aku terdiam ketika darahnya muncrat ke tembok, lalu tubuhnya roboh ke lantai dengan mata terbelalak. Aku bahkan belum bereaksi ketika si gondrong menyerangku dengan belatinya.

Tiba-tiba kesadaranku seperti terenggut kembali dan tubuhku bergerak menghindari hujaman belatinya sehingga hanya melukai pundak sebelah kananku. Si gondrong tersungkur karena kehilangan keseimbangan. Kujambak rambut gondrongnya, lalu... "Kematian telah menggenggam tanganku, di tanganku ada kematian!" aku bergumam tanpa sadar. Masih kudengar si gondrong memohon ampun padaku tapi tanganku segera mengayunkan parang dengan cepat. Sedetik kemudian aku berdiri dengan parang penuh darah di tangan kananku dan menenteng kepala manusia di tangan kiriku, Darah! Maut!

Kesadaranku kembali pulih dan mataku menyalang menatap sekeliling. Rupanya teman-teman penjarah tadi sudah pergi mambawa barang jarahannya. Aku melihat tubuh ayahku tergeletak penuh lubang menganga lalu Mirna adiku mati dengan leher nyaris putus kemudian ibuku tergeletak membelalak dengan usus terburai, dua tubuh penjarah dengan luka bacok serta seorang penjarah yang tewas dengan kepala putus. Darah di mana-mana, di lantai, di tembok, bahkan di atas tubuh telanjang ciciku. Kubuang parang di tanganku lalu menghampiri ciciku yang masih terikat bugil di atas meja. Dia saksi dari apa yang telah kuperbuat di sini. Dia menatapku dingin, dia seperti melihat orang asing. Ada sebersit rasa takut di matanya. "Kevin apa yang kamu lakukan!" suaranya kosong. "Kenapa kamu bunuh Papa!" dia berucap dingin seperti tidak benar-benar berniat mengucapkan kata itu. Sejenak aku memandang wajahnya lekat, ciciku memalingkan wajahnya dariku sambil berucap pelan, "Pembunuh!". Aku tidak menghiraukan ucapannya karena tiba-tiba aku jadi memperhatikan tubuh telanjangnya yang tergolek telentang di depanku. Hatiku berkata untuk menuntaskan semua dendamku. Ayah, ibu, adiku telah tewas demikian juga para penjarah yang menodai ciciku dan menghancurkan keluargaku, semuanya telah kubunuh. Tinggal Irene ciciku di sini. Ah sekalian saja aku merebut kemenangan yang sempurna hari ini, bisik naluriku.

"Kevin lepasin cici", suara ciciku masih gemetaran karena masih shock akan kejadian tadi. Aku pun heran karena dia cukup tegar untuk orang yang baru mengalami penyiksaan dan teror. "Cepat lepasin Kev!" ciciku mengulangi perintahnya, kali ini lebih keras suaranya. Tubuh telanjangnya telah mambiusku. Aku segera mencopot celana dan celana dalamku dengan cepat. "Keviiin!" Irene memekik. "Mau ngapain kamu?" cici terkesiap melihat batang kemaluanku yang sudah berdiri tegak. Mungkin punyaku tidak sebesar batang kemaluan pemerkosa tadi tapi ciciku pasti kaget dan tidak menyangka kalau batang kemaluanku yang waktu masih kecil biasa dilihatnya hanya sebesar jempol tangannya, kini besar dan kokoh. (batang kemaluanku panjanganya 15 cm). Kusentuh payudaranya dengan kedua tanganku, rasanya dingin bagai seonggok daging.

"Keviiin gila luu yah!" Aku merasakan sensasi aneh melihat payudara dan liang kemaluan ciciku. Jelas beda dengan waktu-waktu dulu kalau lihat dia ganti baju di kamarnya. Sekarang aku melihatnya dengan cara yang berbeda. Terus terang jeritan ciciku saat orgasme serta gerak tubuhnya yang mengejang membuatku memandangnya tidak sebagai kakak atau darah dagingku lagi. Di hadapanku telentang seorang wanita yang aku benci dan kebetulan lahir dari rahim yang sama denganku. Saat ini dia sedang telentang telanjang bulat. "Keviiin, setaaan luuu, gua khan cici lu..!" Suaranya judes dan kasar seperti biasanya. Aku menyentuh liang kemaluannya dengan tanganku. Rasanya ya seperti liang kemaluan wanita pada umumnya. Lalu kumasukan jari tengahku ke liang kemaluannya yang masih hangat dan basah itu. Iya betul! sama seperti liang kemaluan wanita yang lain. "Ahh Keviiin gilaaa luu!" Kujilat jari tengahku mencicipi serta mencium aroma liang kemaluannya. Betul nggak ada bedanya sama liang kemaluan wanita-wanita yang pernah kutiduri sebelumnya.

Segera kuletakkan batang kemaluanku di gerbang liang kemaluan Irene. "Keviin jangaaan!" ciciku memohon-mohon padaku. "Diam.. cerewet!" aku menjawab dengan sembarangan. Sekali batang kemaluanku kudorong ke depan, tubuhku sudah menjadi satu dengan tubuh kakakku. "Iiiih... setaaan lu Keviin!" cici mengumpat tapi ada nada kegelian dari suaranya itu. Aku menggoyangkan pinggangku secara liar hingga batang kemaluanku mengocok-kocok liang kemaluannnya. "Ahh... shiit! ah shiiit! Kevin stop!" Semakin dia mamaki dan mengumpatku dengan ekspresi judesnya itu, semakin terangsang aku jadinya.

Sekarang aku ingin membalas semua perbuatan ciciku padaku selama ini dengan membuatnya takluk dalam orgasme dan mengakui kenikmatan yang kuberikan padanya. Sambil memompa liang kemaluannya aku menghisap puting-puting payudaranya yang agak berwarna pink itu. "Mmmh.. udah jangan Kevin!" Irene masih berteriak-teriak memintaku berhenti. "Cici diam aja jangan banyak ngomong", ujarku cuek. "Ohh shiit!" ujarnya mengumpat. Kakak menatapku dengan tatapan yang bercampur antara kemarahan dan kegelian yang ditahan. Sejenak aku menghentikan gerakanku. Kasihan juga aku melihatnya terikat seperti ini. Dengan menggunakan belati yang tergeletak di lantai aku memotong tali yang mengikat kedua kakinya. Begitu kedua kakinya terlepas ciciku sempat berontak. Tapi apa dayanya dengan posisi telentang dengan tangan masih terikat di belakang kepalanya. Belum lagi posisiku yang sudah mantap di antara kedua kakinya membuat dia hanya bisa meronta-ronta dan kakinya menendang-nendang tanpa hasil. "Aaahh Kevin stop dong... udah Kev.. gue khan cici lu", kakakku memohon lagi tapi kali ini suaranya tidak kasar lagi dan terdengar mulai berdesah karena geli. Nafasnya pun mulai memburu. Aku menjilati lehernya dia melengos ke kiri dan ke kanan tapi wajahnya mulai tidak mampu menutupi rasa geli dan nikmat yang kuciptakan. " Aduhh sshhh Keviiin udah dooong.. hhh.. sssh!" suaranya memohon tapi makin terdengar mendesah lirih. Kedua kakinya masih meronta menendang-nendang tapi kian lemah dan tendangannya bukan karena berontak melainkan menahan rasa geli dan nikmat.

Aku menaikkan tempo dalam memompa liang kemaluan kakakku sehingga tubuhnya semakin bergetar setiap kali batang kemaluanku menusuk ke dalam liang kemaluannya yang hangat berulir serta kian basah oleh cairan kenikmatannya yang makin membanjir itu. Kali ini suara nafas ciciku kian berat dan memburu, "Uh.. uh.. uhhffssh.. siiaalaan lu Keviiii.. agh uufffssshhh u.. uhhh!" Wajah ciciku semakin memerah, sesekali dia memejamkan matanya sehingga kedua alisnya seperti bertemu. Tapi tiap kali dia begitu atau saat dia merintih nikmat, selalu wajahnya dipalingkan dariku. Pasti dia malu padaku. Liang kemaluannya mulai mengeras seperti memijit batang kemaluanku. Pantatnya mulai bergerak naik turun mengimbangi gerakan batang kemaluanku keluar masuk liang kenikmatannya yang sudah basah total. Saat itu aku berbisik "Gimana, Cici mau udahan?" Aku menggodanya. Sambil mengatur pernafasan dan dengan ekspresi yang sengaja dibuat serius, kakakku berkata, "I.. iiya.. udah.. han yah Kevin", suaranya dibuat setegas mungkin tapi matanya yang sudah sangat sayu itu tidak dapat berbohong kalau dia sudah sangat menikmati permainanku ini. "Masa?" godaku lagi sambil tetap batang kemaluanku memompa liang kemaluannya yang semakin basah sampai mengeluarkan suara agak berdecak-decak. "Bener nih Cici mau udahan?" godaku lagi. Tampak wajahnya yang merah padam penuh dengan peluh, nafasnya berat terasa menerpa wajahku. "Jawab dong, mau udahan gak?" aku menggodanya lagi sambil tetap menghujamkan batang kemaluanku ke liang kemaluannya.

Sadar aku sudah berkali-kali bertanya itu, ciciku dengan gugup berusaha menarik nafas panjang dan menggigit bibir bagian bawahnya berusaha mengendalikan nafasnya yang sudah ngos-ngosan dan menjawab, "Mmm... iya.. hmmm." Aku tiba-tiba menghentikan gerakan naik turunku yang semakin cepat tadi. Ternyata gerakan pantat ciciku tetap naik turun, tak sanggup dihentikannya. Soalnya liang kemaluannya sudah semakin berdenyut dan menggigit batang kemaluanku. "Ehmmm!" ciciku terkejut hingga mengerang singkat tapi tubuhnya secara otomatis tetap menagih dengan gerakan pantatnya naik turun. Ketika aku bergerak seperti menarik batang kemaluanku keluar dari liang kemaluannya, secara refleks tanpa disadari oleh kakakku, kedua kakinya yang tadinya menendang-nendang pelan, tiba-tiba disilangkan sehingga melingkar di pinggangku seperti tidak ingin batang kemaluanku lepas dari lubang kemaluannya.

"Lho katanya udahan", kata-kataku membuat ciciku tidak mampu berpura-pura lagi. Mukanya mendadak merah padam dan setengah tersipu dia berbisik, "Ah setan lu Kevin... uhh... uhhh.. swear enak banget... pleasee dong terusiiin yeeass!" belum selesai ia berkata aku langsung kembali menggenjotnya sehingga ia langsung melenguh panjang. Rupanya perasaaan malunya telah ditelan kenikmatan yang sengaja kuberikan kepadanya. "Ah iya.. iiiya.. di situ mmmhhh aaah!" tanpa sungkan-sungkan lagi cici mengekspresikan kenikmatannya. Selama 15 menit berikutnya aku dan ciciku masih bertempur sengit. Tiga kali dia orgasme dan yang terakhir betul-betul dahsyat kerena bersamaan dengan saat aku ejakulasi. Spermaku menyemprot kencang sekali bertemu dengan semburan-semburan cairan kenikmatan ciciku yang membanjir. Cici pasti melihat wajahku yang menyeringai sambil tersenyum puas. Senyum kemenangan. Ah hari yang sempurna bagiku. Aku merasa seakan-akan dipenuhi energi yang luar biasa sehingga aku sanggup melakukan apa saja.

Seiring berlalunya kenikmatan itu aku mulai sadar akan ruangan lantai atas rumahku yang penuh darah serta mayat-mayat bergelimpangan. Aku melepaskan ikatan tangan ciciku. Dia kemudian duduk di atas meja. Sesaat dia seperti berusaha menyatukan pikirannya yang tercerai-berai karena rentetan teror dan kengerian yang baru saja dia alami. Kemudian dia bangkit dengan tubuh yang lemah akibat shock serta hubungan seks yang beruntun, yang masih tersisa nikmatnya. Dia memungut dasternya yang sudah robek di sana-sini kemudian dia kenakan. Irene sempat meratapi mayat ibu dan adikku. Kulihat ekspresi wajahnya dingin sedingin ekspresi tubuh-tubuh tanpa nyawa di sekeliling kami. Dia melangkah mendekati mayat ayah yang penuh luka dan darah lalu tiba-tiba mengeluarkan sumpah serapah yang mengagetkanku. Sepertinya dia juga memendam kebencian terhadap ayah yang mengalahkan kesedihannya saat ini. Sungguh tidak terlukiskan ucapan-ucapan yang keluar dari mulutnya mengutuki jasad kaku di depannya itu.

Aku terkejut karena kebenciannya ternyata hampir sebesar kebencianku. Kubiarkan dia terus mengumpat. Sepertinya aku sudah tidak peduli apa-apa lagi saat itu. Kita berdua sebenarnya tidak lebih hidup daripada orang-orang mati di sekeliling kita. Puas menyumpahi ayah, cici membalikkan badannya ke arahku. Sempat bergidik aku melihat ekspresinya. Matanya dingin dan kosong di atas wajah pucat pasi. Segaris senyum dingin dan kejam menghiasi wajahnya yang terdapat bekas cipratan darah. Dasternya compang-camping juga penuh cipratan darah serta kedua lengannya juga berlumuran darah. Dia lebih mirip mayat hidup atau kuntilanak daripada wanita hidup. Senyumnya menandakan kepuasan serta kemenangan. Dia berucap dingin, "Terima kasih Kev.. dia memang pantas mati." Lalu dia menjatuhkan tubuhnya lemas ke atas sofa. Aku pun duduk di sampingnya. Tidak tahu yang harus diperbuat. "Kenapa?" aku bertanya.

Irene kemudian menceritakan apa saja yang juga menimpanya selama ini. Juga penyebab kepahitanku yang belum pernah aku ketahui sampai saat itu. Rupanya ayahku mendapatkan semua kekayaannya dengan membuat perjanjian dengan iblis. Itu terjadi saat ibu sedang mangandung diriku. Salah satu syaratnya adalah bahwa bayi yang dikandung ibuku adalah milik setan dan harus dipelihara. Aku adalah tempat di mana semua kesialan dan ketidakberuntungan ayahku harus dibuang. Karena menurut kepercayaan, setan dalam diriku akan menelan semua amarah dan energi negatif di keluargaku sehingga semakin aku disakiti semakin banyak makanan buat si iblis dan secara otomatis menghilangkan semua kemalangan di keluargaku. Aku pun dikatakan akan menjadi tumbal di mana suatu saat si iblis akan mengambil nyawaku sebagai imbalan atas kekayaan yang diberikannya pada keluargaku.

Petaka datang ketika kakak laki-laki tertuaku meninggal. Saat itu ayah percaya bahwa seharusnya akulah yang harus mati tetapi roh dalam diriku berhasil menipu iblis pencabut nyawa dengan menukar jiwaku dengan jiwa kakakku. Semua keluargaku tahu hal itu kecuali aku. Sengaja mereka merahasiakan itu dariku sehingga aku tidak pernah tahu alasan kepahitan yang melandaku sampai saat ini. Cici juga menceritakan perlakuan ayahku pada dia dan adiku Mirna yang sadis. Berulang kali dia memperkosa mereka. Ayah mengatakan bahwa itu adalah cara agar putri-putrinya terlindung dari pengaruh jahat diriku yang kata ayah selalu berusaha mengambil jiwa mereka sama seperti yang kulakukan terhadap putra tertuanya. Hal ini sekaligus makin menambah kebencian mereka terhadapku. Cici menceritakan semua itu bagai robot tanpa ekspresi dan tatapan mata kosong. Itu adalah jawaban dari pertanyaan yang selalu kutanyakan selama hidupku sampai saat itu. Ironisnya aku merasa bahwa segala kepahitanku berawal dari hal terkonyol yang pernah kudengar yaitu syarat yang harus dilakukan agar kaya raya. Aku tak habis pikir bagaimana mungkin dalam zaman modern seperti ini ayahku masih mau mendengarkan klenik konyol dan bodoh itu. Akhirnya adalah suatu proses penyiksaan batin dan fisik buatku, Juga buat saudari-saudari perempuanku. Aku lebih menerima kalau itu dilakukan karena nafsu semata daripada hal-hal klenik seperti itu. Yah memang ada benarnya juga, nafsu akan kemewahaan ibuku dan nafsu kekuasaan serta kebinatangan ayahku adalah penyebab semua ini.

Malam itu aku dan ciciku tidak berani keluar rumah karena di luar masih terdengar hiruk-pikuk massa yang mengamuk lalu lalang di depan rumah kami. Baru menjelang subuh aku menuntun ciciku keluar rumah setelah sebelumnya menyiram rumah kami dengan bensin dan membakar semuanya. Biarlah segalanya hangus dalam bara api dan asap hingga bersamaan dengan itu musnah pula segala kenangan dan jati diri kami yang penuh dengan kengerian dan kepahitan selama bertahun-tahun. Jauh melebihi kengerian yang terjadi pada malam itu. Aku dan Irene harus bersusah payah melewati puing-puing, sisa-sisa mobil yang terbakar dan barikade-barikade kawat berduri sampai akhirnya kami ditolong oleh warga yang sedang meronda subuh itu.

Aku dan ciciku menolak bercerita terhadap siapa pun mengenai kejadian yang kami alami malam itu. Cici mengalami trauma akibat shock berat dan harus dirawat selama beberapa bulan. Selama itu dia tidak pernah berbicara pada siapapun kecuali padaku. Aku pun memilih dianggap sakit dan trauma sehingga tidak harus menjawab pertanyaan-pertanyaan dari banyak sekali pihak yang ingin mengorek informasi tentang kejadian malam itu. Itu terjadi tiga tahun yang lalu, sekarang aku tinggal di sebuah apartemen di daerah Casablanca bersama Irene ciciku. Kekayaan ayahku lebih dari cukup untuk menghidupi kita berdua. Persoalan mengurus bisnis, aku serahkan pada seorang pamanku yang dapat kupercaya.

Selama tiga tahun terakhir aku menjalankan hidupku untuk memenuhi semua kebutuhan hasratku. Dan dari semua itu keindahan merupakan sesuatu yang selalu menarik hasratku. Kutemukan itu saat menggumuli tubuh kakakku tiga tahun lalu, kutemui keindahan itu dalam tiap rintihan, maupun jeritan nikmat wanita yang sedang orgasme. Juga dapat kutemukan dalam erangan tanpa daya seseorang yang menghadapi maut, bahkan dalam bau amis darah sekalipun. Akan tetapi di atas semua itu keindahan yang paling sempurna adalah disaat kematian itu terasa dekat, di saat maut dapat diraba, di saat aroma kematian memenuhi penciuman atau di saat maut tersenyum kepadaku, menggenggam mesra tanganku. Ya, betul di tanganku maut akan selalu tinggal dan berdiam. Kevin Lim si anak sial itu telah mati tiga tahun lalu saat tangannya mengayunkan parang mencincang tubuh ayahnya. Kevin Lim juga sudah mati saat ia menyetubuhi cicinya dan saat dia ejakulasi di atas tubuh cicinya yang menggelinjang karena orgasme. Kevin Lim bahkan tidak pernah ada. Aku adalah Kevin.., Kevin Demonic karena kejahatan telah menemukan peraduannya dalam diriku.


TAMAT

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar