Michiko dan Aku

Bookmark and Share

Waktu itu musim semi tahun 1992. Michiko sudah hampir menamatkan SMA-nya, demikian pula aku sudah menginjak tahun ketiga masa kuliahku. Michiko mengunjungiku di dormitoriku, seperti biasa layaknya "kakak beradik", Michiko "mengadukan" hidupnya padaku, sambil berpeluk mesra manis dan berciuman.
"Michiko harus pulang ke Tokyo. Orangtua Michiko sudah menjodohkan Michiko dengan pria pilihan mereka... Michiko tidak mencintainya..." Hening sejenak, ia melanjutkan ceritanya. "Bila Michiko toh tetap harus menikah dengan pria tersebut, Michiko akan menikah dengannya dalam keadaan sudah tidak gadis lagi..."

Aku tertegun sejenak, kemudian berkata, "Hendak Michiko berikan kepada siapa kegadisan Michiko?" Kedua mata Michiko yang mungil dan cantik itu menatap kedua mataku. Ia mengatakan, "Hiroshi-san, Michiko sudah lama ingin mengatakan bahwa Michiko mencintai Hiroshi-san. Hiroshi-san boleh mengambil kegadisan Michiko bila Hiroshi-san menghendakinya... Michiko ingin bersatu dengan Hiroshi-san."

Aku terkesiap mendengar kata-kata Michiko. Michiko adalah gadis yang paling cantik yang pernah kukenal pada waktu itu. Sejak pertamakali aku mengenalnya sampai saat itu, tubuhnya telah tumbuh bak bunga yang harum nan ranum, siap untuk dibuahi oleh lebah-lebah yang ingin menghinggapinya dan menyatakan cinta kepadanya.

Aku membimbing Michiko ke bak mandi berisi air hangat yang sudah kupersiapkan. Kali ini Michiko melepas seluruh pakaiannya. Itulah saat pertama aku melihat tubuh seorang wanita, apalagi wanita itu ialah yang tercantik dan teranum yang pernah aku kenal, setiap pria yang normal pasti ingin mereguk air madunya yang manis itu, pikirku. Michiko melulurkan wangi-wangian yang dibawanya ke seluruh tubuhnya. Kami saling berpelukan, dan bercumbu. Ia sudah memahami kepriaanku (beberapa waktu yang lalu aku menyatakan kepriaanku kepadanya, di depan Andre, pria yang menyatakan cinta kepadanya). Oleh sebab kali ini Michiko tinggal memeganginya, membelainya lembut, menggosok-gosokkannya ke permukaan tubuh wanitanya, sesekali mendesah dan menggeliat seperti cacing kepanasan. Aku mengecup bibirnya berulangkali. Kedua tanganku bersentuhan dengan kedua tangannya. Pelan-pelan dan hati-hati sekali ia membenamkan kepriaanku ke dalam kewanitaanya, sesekali merintih sambil menggigit bibirnya sampai seluruh kepriaanku terbenam dalam di dalam tubuhnya. Aku mengunci mulutnya dengan mulutku. Itulah saat pertama dalam hidupku aku bersetubuh dengan seorang wanita, aku merasakan kenikmatan yang tiada tara, benar-benar bersatu dengannya, Michiko berbisik kepadaku bahwa ia bersetubuh dengan pria yang dicintainya, dan tak ingin ada yang bisa memisahkan kami berdua. Kami berdekapan sedekat mungkin, karena itulah hakekat persetubuhan dari kedua insan yang saling mencintai.

Semakin dalam aku semakin jatuh cinta kepadanya. Michiko, kamu cantik sekali, belum pernah aku bertemu dengan gadis secantik kamu. Tibalah saatnya aku harus melepas keperjakaanku dengan menyiram benih kejantananku ke dalam tubuhnya. Michiko memejamkan kedua matanya, berulangkali menarik dan melepas nafasnya. Kuremas-remas kedua buah dadanya yang ranum, dan akhirnya aku tidak lagi mampu menahannya. Michiko menarik nafas panjang, demikian pula aku, dan aku pun menyemburkan air kejantananku ke dalam tubuhnya.

Aku menikmati setiap tetes air kepriaanku yang menerpa dan mengalir ke dalam dinding kewanitaanya. Belum pernah aku mengalami kenikmatan yang lebih dalam daripada itu. Michiko dan aku mendesah kenikmatan. Kami sudah saling menyerahkan keperjakaan dan keperawanan kami masing-masing, bunga bakung yang indah dan ranum itu terbaring di sana, hancur dan hilang sudah mahkota dan madunya, karena aku telah merenggut dan mereguknya dalam-dalam.

Benih kepriaanku bercampur dengan air kewanitaan dan darah kegadisannya. Kami membersihkan diri, merebahkan tubuh kami di tempat tidurku, berdekapan dan terbaring lunglai, kami telah saling memuaskan dan saling menikmati.

Beberapa waktu kemudian Michiko meninggalkan Kobe dan pulang ke Tokyo. Aku mendengar bahwa ia menikah di sana. Sayang, aku tidak bisa hadir karena melaksanakan ujian. Tak lama kemudian kami saling kehilangan jejak kami masing-masing. Pada tahun 1997 kami bertemu kembali di sebuah restoran di Kobe. Ia membawa anak wanitanya yang masih kecil, tentu saja hasil pernikahan dengan suaminya. Ia kelihatan tidak secantik dulu lagi. Ia mengatakan bahwa ia ingin mendidik anaknya itu menjadi "Hiroshi kecil", yang mewarisi bakat pria yang pernah dicintainya.


TAMAT

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar