Tiga Kali Sehari 01

Bookmark and Share

Ada saat-saat di mana Bari bukan main perkasanya. Entah apa sebabnya. Bukan bulan purnama, bukan bulan mati. Bukan bulan muda, bukan bulan tua. Tidak pula karena ia makan sate kambing, atau minum obat kuat. Bukan karena sedang cuti, bukan karena mendapat bonus. Pokoknya, tidak ada penyebab khusus. Surti pernah memikirkannya, mencari penyebabnya, karena ia tentu saja ingin Bari sering-sering begitu! Tetapi akhirnya ia menyerah, karena "fenomena bergairah" itu tidak pernah teratur. Tidak ada polanya!

Misalnya hari ini, hari Selasa di pertengahan bulan yang kebetulan sedang kemarau. Pagi-pagi sekali, sebelum mandi dan sarapan, Bari sudah menelusup ke leher istrinya, mencium dan menggigit-gigit kecil untuk membangunkan Surti. Sebetulnya Surti sendiri sudah terbangun sejak tadi, cuma masih malas membuka mata. Ia memeluk erat-erat suaminya, menggelinjang sambil tertawa kecil.

"Kamu tidur dengan pakaian lengkap, seperti mau upacara bendera!", protes Bari sambil meremas-remas bagian belakang tubuh Surti.
"Ya, ampun" keluh Surti, "Masak seperti ini disebut pakaian lengkap?".
"Lha, iya!" sergah Bari lagi, "Masak tidur memakai beha dan celana dalam segala".
Surti tergelak, dia selalu memakai keduanya. Kenapa baru sekarang dipersoalkan? Pasti ada maunya.

"'Makan', yuk!", bisik Bari sambil menelusupkan kepalanya lebih ke bawah lagi, ke antara dua bukit di dada istrinya. Hmm.., lelaki itu selalu suka menghirup keharuman lembut dari sana.
"Aku belum pingin.." goda Surti, tetapi sambil meraih ke belakang dan melepaskan kait BH-nya. Sekejap kemudian ia menarik lolos BH itu dari balik dasternya. Payudaranya segera terbebas.
"Memang aku yang mau makan kamu..", kata Bari sambil menarik turun daster istrinya.
Segera dada Surti yang subur sekal segar itu terpampang. Cepat-cepat Bari menelusuri bulatan sintal yang menggairahkan itu dengan hidung dan mulutnya. Hmm..., tambah harum jika dicium tanpa penghalang seperti ini.
"Pelan-pelan, yaa..." bisik Surti sambil menggelinjang, "Nanti kamu tersedak".

Bari menjulurkan lidahnya, menelusuri lembah di antara dua payudara istrinya. Hmm..., agak asin karena ada sedikit bekas keringat di sana. Tapi tambah asyik. Bari naik ke bagian atas, melingkari wilayah bulat coklat hitam di pangkal puting Surti. Hmm.., di sini tidak begitu asin.
"Aah..., geli, Yang..", desah Surti, tetapi sama sekali tidak bermaksud memprotes.
Bari berputar-putar lagi di tempat yang sama, dengan takjub melihat puting yang tadinya tergolek lemah kini perlahan menegak tegang. Setelah tegak sepenuhnya, tak tahan lagi, Bari memasukkan puting itu ke mulutnya. Pelan-pelan disedotnya daging kenyal hangat itu.
"Aah..., geli sekali, Yaang.." erang Surti, sama sekali tidak memprotes, melainkan justru bermaksud menambah semangat suaminya.

Dalam sekejap puting kiri Surti sudah basah dan berdenyut hangat. Warnanya tidak lagi coklat semata, tetapi juga bertambah gelap dan agak merona merah. Apalagi Bari juga kadang-kadang memainkan lidahnya di dalam mulut, menekan-nekan puting itu ke kiri dan ke kanan.
"Yang satu lagi ngiri, Yaang.." desah Surti gelisah, sambil meremas sendiri payudaranya yang sebelah kanan.

Bari melepaskan mulutnya dari payudara kiri, berpindah cepat ke payudara kanan. Surti mengerang keras, menggelinjang gelisah, karena Bari kini meremas payudara kiri yang telah ditinggalkan mulutnya. Kini kedua bukit gairah sensual itu terasa geli belaka. Sambil mendesis dan mendecap seperti orang kepedasan, Surti memejamkan matanya, menikmati sensasi luar biasa di pagi yang segar ini!

Bari sendiri sangat terangsang kalau bermain-main di payudara istrinya. Ia suka sekali menyedot..., mengulum..., meremas dan kadang menggigit pelan kedua bukit lembut yang hangat dan harum itu. Rasanya seperti bermain-main di suatu masa lampau, mungkin ketika ia masih kecil dulu, dalam buaian Ibu yang memberinya susu penuh gizi. Mungkin semua lelaki begitu, suka bermain-main di susu wanita karena terkenang masa hangat bahagia di pelukan Wanita Mulia yang melahirkannya.

Surti menelentangkan diri, membentangkan tangannya di atas kepala, sehingga dadanya lebih bebas terbuka. Bari mengangkat badannya, naik menjelajah payudara yang menjulang menantang itu dengan gairah yang semakin membara. Lalu satu tangannya merayap turun sambil membawa serta daster istrinya. Sekali tarik, daster itu lolos dari kedua kaki Surti, sehingga kini tinggal celana dalam yang membungkus tubuhnya. Tidak sabar membuka celana dalam itu, Bari menelusupkan tangannya ke bawah, meraih selangkangan istrinya yang dengan otomatis membuka memberi jalan.
"Aah...!" Surti mengerang keras ketika jari tengah Bari menerobos di antara dua bibir di bawah sana. Rasanya seperti dibelah dua oleh kenikmatan!

Sambil terus mengulum dan menyedot dan menggigit, Bari mengelus-elus lembut lembah cinta istrinya yang mulai membasah. Sekali-sekali ujung jarinya memutar-mutar di atas tombol cinta yang cepat sekali mengeras, terselip di pojok atas bibir kewanitaannya. Surti mengerang-erang semakin keras dan semakin gelisah.

"Buka dulu piyama kamu, Yang.." desah Surti sambil mulai membukai kancing-kancingnya. Cukup susah melakukan hal itu karena Bari tidak mau lepas dari dada dan selangkangan istrinya. Tetapi bukan Surti namanya kalau tidak bisa membuka baju suaminya dalam 5 menit.
"Enam sembilan, Yang.." desah Surti gelisah, nafasnya memburu ingin segera diciumi di bawah sana dan juga ingin menciumi suaminya.

Bari tidak banyak membantah dan segera mengatur posisi sehingga kini mereka bisa saling hisap, saling kulum, saling sedot, penuh gairah dan penuh rasa kasih yang tak berbatas. Surti mengerang-erang dengan mulut dipenuhi kejantanan suaminya. Bari mendesah-desah sambil menenggelamkan mukanya di antara dua paha mulus istrinya. Decap dan desah saling bersusulan ramai sekali. Erotik sekali.

Tidak lama kemudian, keduanya tak tahan lagi. Seperti ada komando khusus, keduanya saling memposisikan diri. Surti menelentang dan membuka kedua pahanya lebar-lebar. Bari mengangkat tubuhnya dalam posisi push up di atas tubuh istrinya. Lalu, sambil dituntun tangan Surti, lelaki itu menekan dalam-dalam.
"Aah!" Surti menjerit sambil memejamkan matanya erat-erat. Kejantanan suaminya yang kenyal itu menerobos masuk dengan lancar, langsung membentur bagian yang paling dalam..., langsung memicu orgasmenya. Cepat sekali!

Sambil bertumpu di kedua sikunya, Bari menenggelamkan mukanya di leher Surti yang sudah dibasahi keringat. Sambil mencium dan menggigit-gigit kecil, lelaki itu mulai menggenjot, mengeluar masukkan kejantanannya penuh semangat. Surti mengangkat kedua kakinya, memeluk pinggang suaminya erat-erat, mengunci tubuh yang juga sudah berkeringat itu kuat-kuat. Perjalanan menuju puncak birahi.
"Ah..., yang keras, Yang!" desah Surti, merasakan orgasmenya sudah tiba, dan ia ingin digenjot sekeras-kerasnya!

Bari menekan lebih keras lagi, sampai kadang-kadang ranjang seperti bergeser diterjang tubuhnya. Pangkal kejantanannya membentur lingkar bibir kewanitaan Surti yang sedang berdenyut-denyut mempersiapkan ledakan pamungkas.
"Aah!" Surti menjerit merasakan ledakan pertama menyeruak dari dalam tubuhnya, "Ngga tahan, Yang..., aah!"

Bari terus menekan dan menghunjam, ia sendiri juga sudah ingin meledak rasanya. Seluruh perasaannya seperti ingin tumpah ruah sesegera mungkin. Apalagi otot-otot kenyal di kewanitaan istrinya kini mencekal erat, seperti meremas-remas dan mengurut-urut kejantanannya. Bari juga tidak tahan lagi.
"Uuuh!" pria itu menggeram sambil menggenjot keras-keras lima kali.
"Ah.., ah.., ah.., ah..!" Surti mengerang setiap kali enjotan mahadahsyat itu menerjang tubuhnya.
"Aah!" Bari mengerang keras, menancapkan dalam-dalam kejantanannya dan bertahan di sana ketika lecutan-lecutan ejakulasi melanda seluruh tubuhnya.
"Oooh!", Surti mendesah panjang merasakan cairah panas tumpah ruah di dalam kewanitaannya dan seperti memberi penyedap utama bagi geli orgasmenya.

Permainan cinta pertama ini cepat sekali. Tidak lebih dari 15 menit. Tetapi dilakukan dengan sangat bergairah, sehingga setelah mencapai puncak, Bari rubuh menubruk istrinya. Surti tersengal menahan tubuh suaminya, dan menelentang tak berdaya dengan sendi-sendi yang seperti copot!

Diperlukan cukup banyak ekstra energi ketika akhirnya Bari bangkit meninggalkan ranjang untuk mandi dan bersiap ke kantor. Surti tinggal di tempat tidur beberapa lama lagi, memejamkan mata, merasakan dan membiarkan cairan cinta mereka perlahan-lahan merayap turun membasahi sprei. Biarlah! sergahnya dalam hati, sudah waktunya sprei itu diganti.

Baru setelah Bari terdengar selesai mandi, wanita itu bangkit dan mengelap tubuhnya sebelum ikut masuk ke kamar mandi. Kemudian keduanya sarapan pagi yang sesungguhnya, sambil tersenyum-senyum mengingat kegilaan mereka pagi ini.
"Makan apa, sih, kamu tadi malam?", sergah Surti sambil menyuap nasi gorengnya.
"Nggak makan apa-apa. Biasa saja, steak dan kentang goreng" sahut Bari, teringat bahwa tadi malam ia memang makan malam bersama relasi kantor. Tetapi tak ada yang istimewa di makanan itu. Bahkan sebetulnya ia tak makan banyak karena masih merasa kenyang.
"Sering-sering, deh, begitu..", kata Surti sambil melirik nakal.
"Nanti kamu kewalahan, lho!" kata Bari sambil mencubit hidung istrinya.
"Hey..., siapa bilang!" sergah Surti, "Jangan-jangan kamu yang kewalahan".
Bari tersenyum sambil meneguk kopinya, "Nanti kita buktikan saja, lah!" katanya.

Dan siang itu Bari menelepon mengatakan akan makan siang di rumah. Surti masih sibuk di studio fotonya ketika Bari tiba dengan dua bungkus mie goreng dan sebotol besar minuman ringan kesukaan mereka. Tahu-tahu suaminya sudah ada di belakang, memeluk dan mencium tengkuknya.
"Sebentar, ya, Yang..." kata Surti sambil membereskan kamera dan film-filmnya, "Kamu duluan, deh. Nanti aku susul ke meja makan!"
"Ngga mau", kata Bari tetap memeluk dan menciumi kuduk Surti.
"Eh, bandel, ya!" sergah Surti sambil terus bekerja membereskan mejanya, sambil menggelinjang kegelian pula karena diciumi di daerah sensitifnya.
"Biar bandel, asal ganteng!" kata Bari terus mencium, dan sekarang bahkan memegang-megang dada istrinya yang cuma terbungkus kaos. Surti tertawa. Siapa bilang suamiku jelek? katanya dalam hati, dia paling ganteng betapa pun nakal dan bandel dan keras kepalanya!
"Di sini saja, yuk!" bisik Bari sambil menggigit cuping istrinya, membuat wanita itu menjerit kegelian.
"Aduuuh, nanti ngga selesai-selesai, nih!", keluh Surti sambil sibuk menurunkan tangan Bari dari dadanya. Tetapi begitu diturunkan, begitu cepat naik lagi. Bahkan yang satu sudah masuk menelusup ke balik kaos, dan sudah mengusap-usap. Celakanya lagi, dada yang diusap itu bereaksi positif!
"Nanti saja beres-beresnya", kata Bari lagi sambil menarik istrinya ke sebuah kursi panjang di dekat tembok.
"Eh, apa-apaan..., Koq di sini makannya? Nanti studioku banyak semut!" protes Surti ketika Bari tidak sabar lagi dan membopong istrinya menuju kursi yang selama ini dipakai untuk tiduran kalau Surti ingin beristirahat di tengah kerjanya.
"Siapa yang mau makan di studio?", tanya Bari sambil dengan hati-hati menurunkan Surti di atas kursi yang dilengkapi dengan bantal-bantal itu.
"Habis, kita mau ngapain?" Surti mengernyitkan keningnya, melihat suaminya membuka dasi.
"Mau bikin film matinee!" sergah Bari sambil duduk dan menciumi leher Surti.

Astaga! Surti baru sadar apa yang dimaksud suaminya. Gila! Padahal tadi pagi ia sudah mengajak bercumbu. Sekarang, belum lagi pukul 1 siang, dia sudah bergairah lagi. Benar-benar surprise.
Surti menjerit kegelian ketika Bari tiba-tiba menyingkap kaos, dan menenggelamkan mukanya di antara kedua payudara yang memang tak tertutup BH itu. Wanita itu tak bisa banyak bergerak karena di desak sampai ke tembok, dan karena suaminya menindih tubuhnya dengan bergairah. Tetapi tentu saja ia sebetulnya juga tidak mau banyak berontak! Ia suka diperlakukan dengan penuh gairah seperti ini.
"Baju kamu nanti lecek, Yang!" sergah Surti melihat suaminya seperti kesetanan. Biarpun ia sedang kegelian, wanita itu masih sempat memikirkan baju pria kesayangannya! Begitulah mulianya hati seorang istri.
"Nanti ganti saja...", desah Bari tak peduli. Lelaki memang maunya praktis saja.
"Sabar, Yaang..." bisik Surti sambil menahan tawa karena melihat Bari seperti bayi kehausan mencari-cari puting susunya. "Masih ada waktu, kan?".
Bari tak menyahut. Ia sibuk menelusup dan menelusur dada istrinya. Lalu sibuk mengulum dan menyedot, membuat si empunya dada mengerang dan menggelinjang.
"aah.." Surti mendesah, mendorong dadanya ke depan sambil merengkuh leher suaminya. Tadi ia bilang "sabar", sekarang justru dia yang tidak sabar!

Siang ini Surti bekerja dengan kaos t-shirt dan celana pendek longgar. Kaos sudah disingkap sampai ke leher. Maka, sambil menggeliat-geliat merasakan mulut suaminya yang sangat aktif itu, Surti membuka celananya sendiri, memelorotkan sekaligus bersama celana dalamnya. Nah, sekarang ia sudah telanjang dari dada ke bawah. Sudah bebas diperlakukan apa saja oleh suaminya.

Bari memposisikan tubuhnya di sisi kursi panjang tempat mereka bercinta. Lalu ia membuka ikat pinggang dan celananya sendiri. Keduanya seperti sudah sepakat untuk saling membuka pakaian tanpa ada aba-aba sebelumnya. Maklumlah, suami istri ini memang sangat kompak!

Tidak lama kemudian keduanya sudah telanjang, walau Bari masih memakai baju dan Surti masih memakai kaos di atas dadanya. Sambil terus mengulum dan menciumi payudaranya, Bari menempelkan tubuhnya lekat-lekat ke tubuh mulus Surti. Hmm..., di siang yang gerah seperti ini, nyaman sekali rasanya bersentuhan kulit dengan orang yang terkasih. Walaupun sebetulnya mereka berdua sudah mulai berkeringat, tetapi tetap saja nikmat rasanya menempel seperti perangko dan amplopnya.
"Nggg..." Surti mengerang sambil merenggangkan pahanya, "Jangan dimasukkan dulu, Yang...".
Bari tak menyahut, tetapi ia mengerti maksud istrinya. Biar bagaimanapun, istrinya tentu belum siap menerima percumbuan tanpa rencana ini. Harus ada sedikit upaya untuk membuatnya siap. Sedikit saja, tetapi harus!
"mm..." Surti mendesah merasakan ujung kejantanan suaminya menelusur celah sempit di antara kedua pahanya, menimbulkan rasa nikmat yang perlahan-lahan menyeruak ke seluruh tubuh.


{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar